Waktu begitu cepat berlalu, di sepanjang jalan terbentang angan dan juga pilu, sedangkan diriku juga tak kunjung berpaling dari senyummu. Mungkin, aku ditakdirkan untuk melukis senyummu dalam sebuah kertas kanvas, mengkonversinya dalam sebuah tulisan, lalu menceritakan itu semua di sepanjang jalan, yang selalu menebarkan angan, juga pilu. Kini, aku tak lagi bersahabat dengan hangatnya mentari, sejuknya embun pagi, dan juga masa depan yang tak kunjung berhenti untuk berelegi. Aku bahkan benci terhadap diriku sendiri, membiarkan sembilu merajai di setiap angan-anganku dan juga mimpi-mimpiku, membasahi kertas ku yang di bumbui oleh mimpiku, lalu tinta-tinta itu berubah menjadi sebuah tawa yang meluap. Seakan, semua yang sudah kulalui hilang oleh hal yang tak seharusnya masuk ke dalam hidupku. Sekali lagi aku benci ini. Benci tak memperjuangkan mimpi.
Sedari tadi, aku membayangkan jiwa ini melayang bersama semesta, menarik luka-luka yang sedang menerpa, juga menanti sisa-sisa rindu yang tak kunjung tiba. Kedamaian menerangi setiap langkahku dalam meleburkan jiwa, tak sedikitpun raga ini terasa hampa, mungkin saja ini merupakan salah satu cara agar mimpiku tak lagi mengingkari janji. Aku selalu percaya bahwa mimpi tak pernah ingkar janji, sama halnya dengan merapi. Dengan jiwa setiap orang yang pemberani, mimpi selalu hadir dan menemani. Walaupun terkadang, kita tak bisa mengerti apa yang akan dikatakan mimpi terhadap semesta. Namun sekali lagi, aku selalu percaya semesta pun akan berkata, merangkai sebuah aksara yang menuntuku untuk mengkonversinya ke dalam paragraf-paragraf. Ya, barangkali kita selalu dibuat bingung oleh rasa kita sendiri. Cobalah, untuk berhenti sejenak dan lihat apa yang telah kau tempuh sejauh ini, agar jenuh tak serta merta menyerang dirimu dan membuatnya menjadi rapuh. Kini, kau perlu menuangkan kopi mu ke dalam cangkir, lalu nikmati setiap seduhannya, dan cobalah sekali-kali memasukan mimpi ke dalam racikan kopimu. Dunia akan tersenyum saat mengetahui mimpimu, juga tentang seseorang yang selalu kau nanti senyumnya.
Sekarang, aku baru saja memulai langkahku, mengurung setiap sendu yang menyelimutiku, mengais kepingan-kepingan mimpi yang selama ini pecah akibat ulahku. Kau tak perlu menangisi setiap hal yang sudah terjadi, biarkanlah itu tetap mengisi hari-hari yang akan kau tatap kedepannya. Rasakanlah, Tentramkanlah. Kini, aku tak perlu melibatkan senyummu kedalam mimpiku, dunia telah suka rela menyumbankannya sedikit senyumannya. Maafkan aku. Aku benci mengatakan ini. Namun sekali lagi, mimpi-mimpi itu sedang menuntutku untuk merangkainya menjadi sebuah puisi. Jadi biarkan aku larut dalam kesepian, ditemani lagu-lagu kedamaian, dan tentu saja yang selalu menyertaiku disetiap perjalanan, yaitu senyuman.
Percayalah, hanya orang pemberani yang berani bermimpi. Tanpa harus takut apa yang akan ia alami nantinya, dan juga tetap berusaha untuk mencapai cita-citanya. Barangkali aku terlalu berlebihan dalam hal ini, namun biarkan aku melakukan sesuatu yang sedari tadi aku lakukan--membayangkan tentang bagaimana jiwa dan semesta melebur dan melantunkan nada-nada.
Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia |
0 Comments