Hembusan angin malam di luar begitu sangat tenang. Langit pun terlihat temaram, juga mataku yang sedari tadi tak bisa memejam. Lantunan musik-musik yang sedari tadi mencoba menghiburku nyatanya gagal, aku tidak terhibur sama sekali bahkan dengan musik favoritku. Mungkin saja, aku tak sedang ingin tenggelam ke dalam alunan melodi, atau lebih tepatnya terjebur kedalam nada-nada elegi. Tidak. Malam ini aku ingin mencoba berkawan lagi dengan aksara-aksara yang belakangan ini tidak bersahabat dengan otakku. Ya, barangkali aksara sedang jera dengan perlakuanku yang seperti kera, melompat kesana kemari tanpa tujuan yang pasti.
"Bukankah kita sudah berkawan lama? lantas bisakah kita berdamai untuk malam ini saja? oh tidak, aku ingin malam ini dan seterusnya, karena kau butuh aku, dan aku butuh kamu. Dunia tak pernah sadar bahwa gabungan antara kita akan menyadarkan ia bahwa kita merupakan sosok yang sangat kuat suatu saat".
Terasa hampa tanpa kehadiran sosok aksara. Tulisanku tak begitu nyata adanya, fana, seperti halnya waktu yang sering dibicarakan oleh Sapardi Djoko Damono. Singkatnya, aku sadar bahwa aksara tak pernah mati, ia selalu ada di setiap orang yang berani. Berani untuk menulis. Karena pada hakikatnya, menulis merupakan pekerjaan yang sangat berat, Ah, sudahlah, aku lupa satu hal. Biar kusiapkan secangkir kopi ku untuk malam ini sebelum mulai bercumbu dengan aksara, semoga engkau tak sengsara. Aku harap demikian.
Dan dimensi yang sedari tadi siap menghiasi langit-langit kamarku, aku harap kau bersedia mengisi setiap relung hati yang sempat sunyi, sunyi sebab kian hari hanya janji-janji manis yang tersirat di setiap dinding kamar.
Kopiku sudah siap, tiba saatnya kita bercerita tentang apa saja sebelum mimpi datang menghampiri. Apa saja. Sebab dongeng sebelum tidur selalu menjadi bagian yang indah untuk semua orang. Lantas, aku ingin bercerita tentang sahabatku, ia bernama semesta. Sudah lama aku tak menyapanya, barangkali sekarang ia sedang membicarakanku karena aku terkesan sombong. Maafkan aku, tak sepantasnya aku seperti itu, mencampakkan teman sendiri dan tak berusaha untuk menghampiri barang satu menit. Mungkin aku ingin menceritakan tentang ini pada malam sebelum mimpi datang menghampiri, aku tahu persis bahwa jembatan yang menghubungkan malam dengan mimpi sangat kuat sehingga aku berani berjalan diatasnya dan bercerita mengenaimu, semesta. Jadi, izinkanlah aku menjemputmu di dalam keheningan malam, walau kita tahu, keheningan selalu menyadarkan kita akan sesuatu yang sebenarnya tak pernah kita tahu. Biarlah, persetan dengan hal itu. Kini aku mencoba berkawan dengan aksara untuk menjemputmu, wahai semesta.
Sebelum pada akhirnya, sunyi merajai seluruh isi dimensi kamarku dan menutup pintu. Aku tak sedang menulis puisi, aku hanya sedang berbagi rasa kepada semesta malam ini.
Aku sadar, aksara yang pergi selalu datang kembali. Semesta pun mulai berkata. Namun diriku, selalu saja terjebak dalam permainan kata oleh aksara dan semesta.
0 Comments