Di sudut kota, tampak matahari sedang menepi. Barangkali ia
tak lagi dibutuhkan oleh manusia hari itu. Dalam raut wajahnya, nampak raut
kekecewaan menyelimuti segala ekspresinya. Entahlah, aku tak begitu peduli
dengan kekecewaan apa yang sedang ia hadapi, toh ia setiap hari selalu saja
mengecewakan para pemujanya—bersembunyi begitu
cepat, padahal orang-orang ingin sekali melihat. Hingga aroma kopiku
yang pekat menyergap indra penciumanku di ujung hari, menuai jerah-jerih yang
meniti langkah hati yang kian perih. Tak apa, bukankah kopiku terlihat
sederhana saat dinikmati bersama lantunan ayat alam hayat? Lalu tiba-tiba saja langit menggeragap kaget
saat ia tahu aku lebih memilih peduli
terhadap secangkir kopiku dibandingkan dengan kekecewaan matahari pada waktu
itu. Biarkan saja, aku sedang menikmati secangkir kopiku, juga ketidak
pedulianku.
Kecewa. Mungkin sebelum matahari menampakkan kekecewaannya
di ujung hari, jauh sebelum itu aku sering sekali menuai kecewa, entah
berapa kali aku tak pernah menghitungnya.
Bukankah setiap kita saat menikmati sesuatu maka kita tidak akan pernah
menghitungnya? Begitulah kira-kira kekecewaanku. Kecewa dalam KBBI : a kecil
hati; tidak puas(karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dan
sebagainya); tidak senang: kami—terhadap penyambutannya yang dingin. Aku pernah
kecewa, setiap kita pasti pernah kecewa. Entah dalam hal apa, yang ku tahu
kecewa merupakan bagian dari mencintai sesuatu, bukan? Jika aku salah, tolong
dibenarkan.
Mari, aku tuntun ke dalam ruang ceritaku. Jangan
sungkan-sungkan. Hari memang sudah gelap, namun kita tak pernah habis untuk
berbagi cerita agar dunia ini tak begitu senyap. Barangkali, kekecewaanku
berawal dari seseorang yang kusayangi, sesuatu
yang kucintai, namun mereka sama sekali tidak mengerti tentang sesuatu yang aku inginkan untuknya.
Tak apa, aku tak akan marah, namun maaf jika aku resah. Aku juga tak akan
kecewa, kecewa yang menghilangkan rasa sayangku padamu, pada sesuatu. Aku juga
tak akan menuntunmu untuk melakukan apa yang aku inginkan, tak akan. Pada
akhirnya—gelap menuntunku dalam meniti cahaya, cahaya menuntuku dalam meniti
rasa.
Celakanya, aku terlanjur mencintai Indonesia.
Celakanya, aku terlanjur mencintai Indonesia.
Indonesia, hari ini sedang berulang tahun. 72 tahun
merupakan umur yang tak begitu terlihat muda, juga tak terlalu tua untuk seumuran negara. Bangsa kita telah
melalui banyak hal. Soekarno-Hatta telah memproklamasikan
kemerdekaan 72 tahun yang lalu. Sumual, Rapar dan Evert Langkai rela begadang
pada malam hari menjelang hari
proklamasi demi kemerdekaan Indonesia untuk menjaga keamanan di wilayah sentral
Jakarta. Wikana, sosok pemuda yang sangat mendesak Soekarno-Hatta untuk
cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan, mencoba membawa Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok, untuk cepat-cepat memproklamirkan Indonesia.”Jika tidak mau
memproklamasikan, maka esok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah”,
Ancam Pemuda kelahiran Sumedang itu kepada Soekarno. Dan para tokoh lain yang mungkin sudah disebutkan dalam pelajaran sejarah Indonesia.
Indonesia, dengan penuh perjuangannya berhasil melewati
berbagai macam halangan dan rintangan. Hingga sampai saat ini pun, 72 tahun aku
masih menyukai Indonesia, masih menyayanginya. Walau jika 72 tahun itu seperti
nenek-nenek yang sudah berkeriput, Indonesia masih selalu di hati. Sekali lagi,
aku tak peduli akan hal itu—seperti ketidak pedulianku terhadap matahari waktu
itu. Indonesia sejauh 72 tahun memang selalu mengecewakanku, mengecewakan
rakyatnya. Korupsi menjadi hal yang biasa bagi kalangan orang-orang berdasi,
pertumpahan darah antar ras, suku, agama, bahkan supporter tim bola, kemiskinan
yang merajalela, demo dimana-mana.
Namun, sekali lagi.
Bukankah kita harus siap menerima kecewa saat kita mencintai seseorang atau
sesuatu? Tidak hanya menerima indahnya saja, melainkan siap menerima buruknya.
Indonesia, izinkan aku mencintaimu lagi, dan lagi. Lebih
dalam, menyelami disetiap relung
hatimu, menyebrangi disetiap rasamu yang
belum sama sekali aku jamah. Barangkali, lautan dan gugusan pulaumu begitu luas
untuk kujangkau, maka akan aku jangkau
dirimu dengan beberapa kalimat yang tak seberapa ini. Kelak, suatu hari
nanti aku akan menjelajahi seluruh ragamu dan merasakan apa yang kau rasakan,
Indonesia.
Bila engkau sakit, jangan ragu untuk menceritakan kepadaku
lewat hembusan angin. Aku selalu siap mendengar cerita apa saja tentangmu—baik
menggembirakan maupun mengecewakan.
Aku selalu membayangkan, persatuan dan perdamaian
menyelimuti di setiap malammu, Indonesia.
Pikirku kau akan kedinginan di setiap malamnya akibat perpecahan dan
kehancuran yang terjadi dimana-mana. Tenang saja, alam semesta tak akan
membiarkanmu kedinginan. Barangkali ia rela berbagi kehangatan
padamu—menceritakan sesuatu yang indah, sehingga melupakan segala masalah. Jika
tidak keberatan, aku pun ingin sekali ikut berbagi kehangatan bersamamu,
bersama alam semesta. Dalam alunan kedamaian yang diselimuti oleh kegelapan.
Dalam malam yang penuh kejam. Dalam senyuman yang selalu menghadirkan
kehangatan.
Ku seruput lagi kopiku. Aromanya begitu hangat dan
bersahabat. Ah, andai saja kau ada disini, bersamaku bercerita tentang sesuatu
yang aku sayangi—bersama orang yang aku sayangi juga. Kuputar saja lagu Pee Wee Gaskins-Dari Mata Sang Garuda untuk menemani malamku.
Dari mata sang garuda
Memandang luas dari langit yang tinggi
Bersatula untuk..
Indonesia, kobarkan semangatmu
Kan kubela sampai akhir hayatku
Jangan pernah menyerah
Sudah terlalu lama kita terlelah
Bangkit dan raih semua mimpi
Pada akhirnya, aku berdamai dengan kejamnya malam. Dan
menyadari, bahwa ketidak pedulianku terhadap kekecewaan matahari waktu itu
merupakan hal yang sangat kejam, lebih kejam dari malam.
Bukankah kecewa merupakan bagian dari mencintai seseorang
atau sesuatu?Jika kita mencintai sesuatu, maka kita siap juga untuk menerima
kekecewaan.
Kamu bisa menengok puisiku tentang Indonesia. Puisi ini aku buat pada saat hari sumpah pemuda Puisi Indonesia
Puncak Gn. Sumbing |
0 Comments