Pagi kali ini sedang
tidak menyapa elegi. Lantaran sunyiku terjerembab ke dalam alunan musik folk,
malam itu aku tak sempat menitihkan tinta menjadi sebuah cerita. Hingga pada
akhirnya, malam hanya terlewat sepersekian detik dan membuatku tak berkutik. Cahaya
kuning berpendar di seluruh belahan semesta, mentari menyapaku dengan sebuah
kata, mataku tak tahan untuk membuka cerita. Pagi itu, aku sedang berada dalam
sebuah mobil menuju ke kota Kuningan, tempat bersemayamnya seribu kenangan. Ku
buka mata ini lebar-lebar, menyaksikan pemandangan yang telah aku simpan
baik-baik di dalam ingatanku. Aku tak mau terlewatkan sedetik pun
untuk menikmati indahnya Kuningan, aku tak
mau. Sebab, di tiap langkahku di kota ini menjadi sebuah cerita sampai saat ini—mengukir
harmoni tak terlupakan. Barangkali ragaku masih terperangkap di dalam mobil,
namun jiwaku telah berterbangan ke seluruh penjuru kota Kuningan—Mengintai segala
kenangan yang telah terlewatkan. Kata demi kata terurai di langit cakrawala, ku
tangkap sedemikian rupa agar tertanam abadi dalam kanvas kosongku.
Terapung, tak tenggelam
Seakan-akan jiwaku melayang di antara putihnya awan dan birunya langit
Resahku tak tahu kemana, hanya kalimat sederhana yang fana.
Menyapu seluruh pandanganku, di kota itu
Seakan-akan jiwaku melayang di antara putihnya awan dan birunya langit
Resahku tak tahu kemana, hanya kalimat sederhana yang fana.
Menyapu seluruh pandanganku, di kota itu
Tak tahu perasaan macam
apa
Saat ragaku berpesta di sorabi cibulan
Atau ketika jiwaku hendak menyegarkan nafas di kolam renang cibulan
Entah, aku hanya berharap berdiam di sudut stadion ewangga
Menikmati langkah-langkah manusia yang mencari bahagia
Saat ragaku berpesta di sorabi cibulan
Atau ketika jiwaku hendak menyegarkan nafas di kolam renang cibulan
Entah, aku hanya berharap berdiam di sudut stadion ewangga
Menikmati langkah-langkah manusia yang mencari bahagia
Tolong aku untuk mengerti apa itu rindu
Saat bertamu di kota itu
Kota Kuningan penuh kenangan
Apa aku tak rela dengan yang telah terlewatkan?
Kota Kuningan penuh kenangan
Apa aku tak rela dengan yang telah terlewatkan?
Pikiranku benar-benar tak
dapat bekerja secara baik. Jika saat itu aku ditanya 1+1, maka aku akan kebingungan
menjawabnya. Karena fokusku hanya pada kota itu. Di seluruh sudutnya seakan
menjadi sebuah hal yang patut untuk direkam. Terlebih saat aku masuk ke dalam
sebuah tempat yang mengajariku banyak hal, tentang agama, tentang kebersamaan,
tentang tanggung jawab, tentang apa saja yang mungkin tak akan ku dapatkan di
luar sana. Di kota itu, aku belajar banyak hal. Namun, aku belum terlalu
belajar banyak hal mengenai senyuman-senyuman manismu. Syukurlah.
Gunung ciremai tersenyum
kepadaku, seolah-olah hendak menyambutku
dengan riang gembira. Husnul Khotimah membuka hatinya begitu lebar kala aku
hendak menyelami luasnya samudera. Suasana sendu yang membuatku betah sekali
disana, mendung yang tak kunjung turun hujan, angin sejuk yang memanjakan tubuh seakan-akan menumbuhkan
harapan. Pada akhirnya, hatiku berlabuh di sebuah tempat yang begitu nyaman,
ragaku tak terbantahkan—menyita seluruh lintas cakrawala. Jumat berkah begitu
merekah lewat gendang telinga para manusia yang mendengarkan lantunan ayat suci
Al-quran. Seperti biasa, Husnul Khotimah begitu nyaman untuk ditinggali. Selain
suasananya yang menyejukkan badan, juga hati yang senantiasa melantunkan alunan
kedamaian. Ah, saat ini saja aku sedang
terbang kembali pada Jumat yang lalu. Ribuan langkah-langkah kecil santri
bergemuruh menuju masjid Al-Husna 1, gamis putih melekat indah dalam tubuh.
Kadang, murojaah hafalan menjadi
aktifitas sebelum menunggu Jumatan, terlebih bagi kelas 3 Aliyah.
Masih melekat betul
setiap sudut Husnul Khotimah dalam benakku. Kenangan demi kenangan telah aku
lalui di tempat tersebut. Barangkali aku terisak tangis ataupun tergelak tawa
saat menuliskan ini, entahlah. Terlalu banyak tangis dan tawa yang tercipta.
Jika Eratosthenes selalu dijuluki Beta karena banyak yang iri kepadanya,
padahal ia layak mendapat julukan Alfa, maka aku sangat begitu iri jika Husnul
tak sengaja aku juluki sebagai Alfa, sebelum rumahku sendiri yang ku juluki
sebagai Beta. Semarang tempat kelahiranku, namun Kuningan menjadi tempat tumbuh
kembangku.
Hingga senjaku tak
sengaja berpapasan dengan pekatnya awan hitam, rintikan hujan menutup hariku
yang begitu merdu. Lantas, langkahku tergontai-gontai masuk ke dalam mobil,
masih tak rela dengan kenangan yang
telah terlewatkan.
Foto sehabis UN Aliyah |
Semarang, 10 Desember 2017
Tertanda,
Adibio, manusia yang bercita-cita membeli supreme
0 Comments