Rasanya, aku sudah lumayan lama tidak menuliskan blog tentang travelling. Menginjak semester akhir membuat diriku sudah tak terlalu sering berkecimpung dengan dunia travelling. Bolak-balik kampus menjadi aktifitas yang sangat lumrah dikerjakan setiap minggunya. Menyedihkan tentu saja, namun tuntutan lulus harus segera diselesaikan, sebelum semua menjadi sebuah penyesalan. Sudah, aku tak mau membahas panjang lebar tentang aktifitas membosankan itu. Kali ini, aku diberikan kesempatan untuk mendatangi sebuah prosesi tradisi Jawa, yang sering disebut dengan Nyadran.
Apakah itu Nyadran?
Nyadran merupakan sebuah tradisi Jawa yang sudah turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Nyadran pada umumnya adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat yang biasanya dilaksanakan oleh warga desa sekitar untuk mendoakan para leluhur atau orang-orang terdekat yang sudah meninggal. Nyadran biasanya diadakan sebulan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Selain itu, nyadran juga diadakan agar tetap melestarikan kebudayaan Jawa yang sudah turun temurun dari nenek moyang. Nah, pada kali ini, aku akan menceritakan sebuah tradisi Nyadran yang dilakukan oleh masyarakat kampung wisata Talunkacang yang berada di kelurahan Kandri, Kecamatan Gunung Pati, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Tepatnya pada tanggal 26 April 2018, masyarakat kampung wisata Talunkacang mengadakan sebuah kegiatan Nyadran yang diselenggarakan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Suko Makmur Kelurahan Kandri RW 03 dengan dibantu oleh seluruh masyarat setempat. Selain itu, pada kesempatan yang sama Departemen Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip juga melepas ikan di waduk Jatibarang agar dapat berkembang biak disana. Acara tentu terbilang berjalan sangat meriah. Diawali oleh sambutan-sambutan dari ketua Pokdarwis, bapak Majuri yang diwakili oleh pak Sudiyan, sambutan dari Dr. Ir. Pujionowahyu selaku sekre Dep. SDA Undip, hingga sambutan dari ibu wakil walikota ibu Ir. Hj. Hevearita Gunaryanti Rahayu. Kata ibu wakil walikota,
"Wisata waduk Jatibarang ini memiliki potensi yang sangat tinggi sebagai tempat wisata yang berada di Semarang"
Ibu Wakil Walikota, Bu Ita |
Setelah sambutan demi sambutan telah terlewati, prosesi larungan pun segera dimulai. Larungan sendiri adalah bahasa Jawa yang berarti membiarkan hanyut. Dan dalam acara ini, akan menghanyutkan nasi tumpeng dan beberapa jajanan tradisional yang ditaruh di atas tampah. Setelah semua sambutan selesai, maka MC mempersilakan nasi tumpeng tersebut untuk diangkat menuju ke sebuah perahu yang berada di waduk Jatibarang.
Nasi Tumpeng dan beberapa Jajanan Tradisional |
Pengangkatan Nasi Tumpeng Menuju ke Perahu |
Foto bersama sebelum menuju perahu |
Setelah nasi tumpeng itu ditaruh ke dalam perahu, maka para rombongan yang naik perahu diikuti dengan speedboat menuju ke tengah waduk untuk menghanyutkan nasi tumpeng tersebut.
Perahu yang mengangkut nasi tumpeng |
Larungan sedang dilaksanakan |
Larungan pun berjalan dengan sangat lancar. Masyarakat sekitar tentu sangat senang. Karena tujuan dari larungan ini adalah rasa syukur kepada Tuhan agar masyarakat selalu diberi keselamatan dan juga dalam arti agar segala sengkala atau marabahaya jauh dari masyarakat setempat. Usai larungan, para warga dan juga hadirin yang datang di acara tersebut makan bersama. Banyak sekali makanan yang tersedia, dari jajanan tradisional, chiki, hingga nasi tumpeng. Sebelum adanya acara larungan ini, warga setempat sudah melakukan berbagai macam kegiatan, seperti : nyadran kali, nyadran kuburan, sesaji rewanda, dan suronan/barikan. Kegiatan itu semua tentu untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan yang hanya menghitung beberapa hari lagi.
Oh ya, aku juga mau menceritakan tentang pokdarwis yang telah menyelenggarakan acara tersebut. Pokdarwis atau singkatan dari Kelompok Sadar Wisata telah mulai membentuk diri dari tahun 2008. Pada tahun 2008, mereka sudah bersosialisasi. Kemudian pada tahun 2010 mereka mengajukan ke dinas pariwisata kota Semarang dengan anggota 30 orang. Lalu pada tahun 2011 mereka menerima SK Pokdarwis. Hingga sampai sekarang, anggota mereka telah terkumpul menjadi 174 orang.
Dalam tulisan kali ini, aku turut mempromosikan wisata waduk jatibarang yang berada di Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. Karena menurutku, kita sebagai Generasi Pesona Indonesia harus turut ikut andil dalam perkembangan wisata yang ada di daerah kita. Dengan cara menuliskannya di blog, atau memposting hasil foto kita ke berbagai jejaring media sosial, agar wisata tersebut dapat dilihat oleh masyarakat Indonesia, terlebih oleh orang luar negeri.
Dalam tulisan kali ini, aku turut mempromosikan wisata waduk jatibarang yang berada di Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. Karena menurutku, kita sebagai Generasi Pesona Indonesia harus turut ikut andil dalam perkembangan wisata yang ada di daerah kita. Dengan cara menuliskannya di blog, atau memposting hasil foto kita ke berbagai jejaring media sosial, agar wisata tersebut dapat dilihat oleh masyarakat Indonesia, terlebih oleh orang luar negeri.
Yasudah, sekian cerita travellingku kali ini yang sedikit mengangkat tema tentang kearifan budaya lokal. Karena kita tahu, bahwa budaya harus dilestarikan walau zaman sudah berbeda. Kebudayaan menjadi dasar para masyarakat untuk menjalani kehidupan. Tanpa budaya, masyarakat akan kehilangan identitas mereka.
0 Comments