Telingaku bergaung, suara gamelan berbalas-balasan meramaikan suasana pasar bubrah. Aku paksakan badanku untuk bergegas berdiri dan keluar dari tenda, memeriksa apa yang sedang terjadi di luar sana. Ku buka resleting tenda paviliun secara perlahan, lalu ku perhatikan keadaan sekitar. Suara gamelan tadi tidak terdengar sama sekali, yang ada hanya ruang kosong yang dipenuhi bebatuan dan hamparan pasir. Hatiku semakin kalut bersamaan dengan turunnya kabut yang menyelimuti pandanganku. Suara gamelan tadi, apakah seperti misteri yang terjadi di pasar bubrah?Entahlah. Aku memang memercayai adanya misteri yang ada di tempat ini, namun suara tadi benar-benar membuat hatiku semakin kalut.
Udara dingin Merapi kembali membuat bulu tubuhku bergidik setelah mendengar suara gamelan yang tadi melantunkan musik. Aku kembali masuk ke dalam tenda. Membuat mie instant tampaknya akan sangat menyenangkan ditambah perutku yang sangat lapar. Suara gamelan tadi bisa jadi karena perutku sedang kosong, sehingga imajinasiku terbawa kemana-mana. Ku ambil kompor portable serta nesting ke dalam teras tenda, lalu kumasukkan gas ke dalam kompor portable tersebut. Sambil menunggu airnya mendidih, aku berdiam diri sembari menikmati alam Merapi yang sangat sejuk. Tiba-tiba suara gamelan tadi terdengar lagi, kali ini lebih nyaring. Sontak aku pun terkaget, suara gamelan tersebut benar-benar memecah konsentrasiku saat itu. Misteri pasar bubrah memang benar adanya, bahwa acapkali pada tiap malam para pendaki akan mendengar kebisingan yang terjadi di pasar bubrah. Entah itu suara gamelan atau suara bising seperti yang terjadi di pasar, pasar bubrah menyimpan banyak cerita.
Kali ini, suara gamelan tersebut benar-benar nyaring, aku tak berani untuk keluar dari tenda. Air di atas nesting telah mendidih, sementara suara gamelan kali ini diiringi dengan seorang sinden yang bernyanyi tembang Jawa. Mendengar sinden lewat youtube saja aku merinding, apalagi mendengarnya secara langsung saat ini. Seketika itu juga aku lupakan mie instant yang sedari tadi telah menggerogoti pikiranku, ku matikan kompor portablenya lalu aku keluar untuk melihat keadaan di sekitar pasar bubrah. Benar saja, di ujung sana, tepat di ujung kanan pasar bubrah dari pandanganku, seorang sinden sedang bernyanyi, di belakangnya ada sekumpulan orang yang bermain kendang, gamelan, serta berbagai alat musik jawa lainnya. Baru aku melangkahkan kaki sebentar, sesosok makhluk dengan perawakan yang tinggi serta rambut yang terurai panjang hingga menutupi punggung menghampiriku seraya berkata,
"Muliha kami ring lemah, mahuripa kami ing swargaloka, tan hana ikang amrta, matemwa ta kami ri kita".
Hingga tiba-tiba suara sinden dan gamelan tadi semakin nyaring membuncah pikiranku. Perlahan demi perlahan pasar bubrah yang sunyi berubah menjadi ramai seketika. Suara dentuman tapal kuda berirama begitu cepat, mantra yang diucap oleh sosok makhluk berperawakan tinggi tersebut kian merasuki pikiranku. Pandanganku kunang-kunang, puncak garuda tak terlihat lebih jelas, hamparan pasir dan bebatuan pasar bubrah hilang begitu saja. Ragaku terhuyung tak tentu arah, hingga terbang di atas hamparan awan dan menuju entah kemana.
Tiba-tiba saja mataku terbelalak kaget. Nafasku tersenggal tak beraturan. Aku melihat sekitar, ragaku masih di dalam tenda. Ku perhatikan jam tanganku, masih menunjukkan pukul 02:30. Udara dini hari di gunung biasanya melukiskan rindu dengan tinta dan kuas serta cat yang tidak sembarangan. Diabadikannya udara dingin tersebut sedemikian rupa, hingga tertanam menjadi kenangan dalam pikiran. Aku coba menenangkan diriku setelah mimpi yang terjadi padaku barusan. Ku buka resleting tenda paviliun dan keluar dari tenda. Di atas sana, gemintang masih setia menghiasi langit walau sesekali ada bintang yang jatuh dan meninggalkan semesta. Sementara di bawah sini, aku berusaha mengatur napas di atas batu yang ada di pasar bubrah. Menikmati udara gunung dini hari saat cuaca sedang cerah adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Ku pandangi sekitar pasar bubrah, lalu aku tertuju pada mimpi tadi.
Misteri pasar bubrah begitu nyata adanya.
Bersambung...
0 Comments