Waktu berlalu sedang kita masih menatap masa lalu. Tak tahu hendak kemana layar kapal akan mengadu. Terdiam saja, terombang-ambing oleh sang ombak yang kian gerutu. Kini, cakrawala surgaloka hanya dongeng belaka. Tangisan demi tangisan terus mengalir dan bersatu dengan samudera yang menciptakan ombak begitu deras. Sedang di dalam kapal, segerombolan manusia sedang mengadu nasib hendak menentukan arah mereka kemana. Kini, angin bertiup kencang dari arah barat membawa kabar berita bahwa tak akan ada lagi impian yang tersisa di tengah samudera yang penuh dengan omong kosong belaka. Terjebak, terperangkap dalam sesak langkah sendiri, sehingga menuju ke ruang gelap tanpa ada lentera satu pun yang menerangi. Kau tahu, impian yang tak diperjuangkan dan hanya mengapung di atas samudera adalah impian yang hina.
------
Melangkah tanpa gerak, hanya suara detik jarum jam yang kian gemertak. Waktu kian berjalan, sedang langkahku tetap saja terhenti di suatu jalan, tepatnya jalan Pahlawan. Terpaku dengan dunia yang sudah aku lewati bertahun-tahun dengan pikiran yang entah kemana arahnya. Sedang mata ini menatap beberapa pedagang yang berusaha banting tulang untuk mendapatkan nafkah demi menghidupi anak dan istri. Entah berjualan apa saja, tahu gimbal hingga jagung susu keju (jasuke). Ku biarkan langit malam melunakkan hatiku sejenak untuk memikirkan tentang apa saja yang telah aku lalui bertahun-tahun. Barangkali selama ini aku melakukan hal-hal yang tidak berarti, atau mungkin ada satu hal atau beberapa hal yang mempunyai arti. Ku simpan segala hal yang pernah ku lalui, lalu aku mencoba untuk meresapi semuanya, ditemani hangatnya sinar rembulan.
Melihat ke belakang sebelum menatap masa depan adalah sesuatu hal yang aku lakukan malam itu. Sebelum pada akhirnya aku menyadari bahwa tak semua manusia mampu memalingkan wajah mereka langsung tatkala menatap masa lalu. Ada juga beberapa manusia yang terjebak dalam masa lalu sehingga mereka tidak bisa memalingkan mukanya ke masa depan. Yang terjadi, ia akan terus menetap di satu tempat, dan tidak akan bergerak sama sekali. Ia akan terlihat seperti orang yang bingung menentukan arah langkahnya ke depan, lalu hanya meratapi masa lalu dengan segelintir kemenangan yang telah ia miliki. Barangkali, aku termasuk ke dalam orang seperti itu. Malam itu, tepat di tengah kota, langkahku mencoba bergerak namun dihentikan oleh pikiranku yang berpijak di masa lalu. Waktu terus berjalan, dan aku dihipnotis olehnya.
Setiap manusia kerapkali menyalahkan waktu, mungkin saja termasuk aku. Ia dengan kejamnya membiarkan manusia meratapi segala penyesalannya. Dan pada akhirnya, banyak sekali manusia yang menyerah pada waktu. Terdiam, merenungi, tidak melakukan apa-apa, dan tetap saja, waktu akan terus berjalan tanpa menunggu manusia semacam itu. Malam itu, tentu saja aku sangat menyalahkan waktu. Bagaimana tidak, aku belum mengarahkan layar kapalku hendak kemana, sedang waktu tidak memberikan kesempatan bagiku. Persetan dengannya, biarkan saja aku terombang-ambing di tengah kejamnya malam tanpa sinar rembulan. Aku tersiksa, terperangkap oleh jebakan diriku sendiri.
Aku tetap berusaha untuk memalingkan wajahku kepada masa depan. Menatap masa lalu terlalu lama tentu tidak baik untuk manusia. Bukankah banyak yang bilang, kalau hidup ini seperti menaiki mobil? Kaca spion hanya berbentuk kecil, sedang kaca di depan sangat besar. Kita harus melihat ke belakang, namun jangan terlalu banyak. Sebab, kamu harus fokus ke depan agar tidak menabrak. Itulah, barangkali perumpamaan yang kerapkali kau dengar di pinggir jalanan.
Layar kapal sudah berkibar, nahkoda hendak memutar setirnya. Sedang otakku masih saja terpaut dengan masa lalu yang kian menghantui. Bukankah seharusnya menatap masa depan adalah hal yang sangat mudah? Lalu mengapa waktu tetap membiarkan aku terjebak di dalam perangkapnya?. Langkah masih saja bergerak tak tahu arah, mata masih saja menatap para pedagang, sedang tangan mencoba meraih sesuatu, entah apa itu, namun tangan ini terus bergerak di antara angin;hendak mencari sesuatu.
Pikiranku sangat kacau malam ini. Andaikan saja roda pengendali waktu dapat aku temukan. Namun tak kunjung jua. Aku akhirnya menyerah kepada waktu dan berdiam diri mematung, tak tahu apa harus melangkah kemana untuk menuju masa depan.
-------
Waktu begitu kejam, kehidupan kian temaram. Lalu mengapa kau terus berdiam? Bukankah masih ada impian-impian lain yang masih mengambang di tengah samudera sana? Bukankah kamu seharusnya mengibarkan layar kapalmu, merumuskan segala sesuatunya, lalu menjemput impianmu? Lalu mengapa kamu terus mengiba-iba kepada sang waktu, seolah-olah ialah yang lebih mengetahui segalanya ketimbang pikiranmu?. Ah, dunia tetap saja berputar, mengikuti perintah dari sang waktu.
Semarang, 05 April 2019
Gambar dari google |
0 Comments