Merampas jiwa, mengitari sanubari rasa, mengarungi luasnya samudera benci. Kau bersemi di ujung musim hujan dengan sisa terik matahari yang menembus pelupuk mata. Hati tidak tahu hendak berkata apa, sedang langkah terus meronta merayakan kemenangan yang aku tidak tahu apa. Tergontai-gontai mengais butiran cinta yang bertebaran di sudut semesta. Aku tidak sedang mencari hormat ataupun rasa takut, hanya hendak mengisi ruang kosong dengan cahaya kasih sayang yang masih berjuntai di antara ruang dan waktu. Mungkin kamu demikian, sedang merasa kosong akan hal-hal fana yang terjadi di dunia, lalu berpikiran bahwa tak ada apapun yang istimewa kecuali rasa yang terus membara di antara hangatnya fajar mentari. Kemudian pada ujung hari termenung kaku hendak merayakan atau merenungi segala hal yang telah dilewati. Entahlah. Aku masih terpaku dengan seonggok harapan yang terbujur indah di atas darah malaikat yang rela berkorban demi terciptanya kedamaian. Barangkali aku akan terus melangkah walau tanpa arah.
Lolongan ayam di pagi hari menyadarkan lamunanku. Hari sudah memasuki dini hari, sedang aku masih asyik dengan duniaku sendiri. Rasanya aku tidak ingin membuka hati melawan dunia. Berdiam saja tanpa tujuan atau tetap memupuk harapan pada luasnya ladang impian. Mimpiku tak lagi indah sejak kehidupan selalu mengajariku tentang bagaimana harus bertahan di atas jeritan Bumi. Bau tanah kering masih menghantui penciumanku. Rasanya aku rindu dengan bau tanah sehabis hujan pada sore hari, lalu senja hadir menemani ujung hari dengan segerombolan pikiran yang harus diolah menjadi sebuah tulisan. Menikmati senja tanpa harus khawatir akan kehabisan kata-kata. Hidup memang selalu mengajari kita tentang menjaga sesuatu, namun aku selalu lupa setelah pelajaran berharga tersebut. Hingga pada akhirnya, tak ada lagi yang harus dijaga, bahkan harapan sekalipun. Aku masih berharap bahwa ada kehidupan lain di luar angkasa sana agar aku masih dapat berdiskusi tentang apapun bersama makhluk lain. Berbicara kesana kemari sembari menyesap kopi. Ah, keindahan akan selalu menemui kehancuran.
Aku mencoba mengingat langkah kakiku sudah beranjak kemana saja. Sebelum dini hari habis, rasanya sangat sayang bila tidak mengenang segala hal yang telah aku lewati. Menyusuri hijaunya rumput, lalu mata dimanjakan dengan birunya langit dengan hiasan awan yang menenangkan hati dan pikiran. Sedang di depan ombak menerpa sang batu karang sehingga menimbulkan irama yang meneduhkan mata. Air laut menjilati kaki indahku, lantas aku senang dibuatnya. Tidak ada keresahan yang muncul di dalam diri pada saat itu. Alam selalu mengajariku cara bagaimana menenangkan diri. Berbaur dengan percakapan ghaib antara batu karang dengan butiran pasir. Tenggelam di dalam dekapan semesta. Hingga pada akhirnya, aku tersadar bahwa aku telah tersesat di suatu ruang yang tiada ujungnya.
Indah sekali rasanya mengingat hal tersebut. Seraya menunggu fajar tiba, aku meratapi tanah kering di luar sana. Tak ada hijaunya sawah di depan mata. Hanya segerombolan debu yang sewaktu-waktu dapat menusuk hidung. Langkahku terhenti di sebuah gubuk tepat di pinggir sungai. Di sini, aku menghabiskan sisa hidupku dengan menikmati akhir yang indah dari tempat tinggal kita. Aku tak tahu bagaimana akhirnya, hanya saja aku sering membayangkan bahwa akhir dari segalanya adalah tak ada sesuatu pun yang dapat dimakan kecuali harapan. Ya, harapan selalu ada dari jutaan tahun sebelumnya. Hingga sampai saat ini aku masih percaya bahwa harapan itu ada.
Filantropi Bumi sudah mendekati akhir. Mungkin inilah saatnya aku harus melangkahkan kaki lagi sebelum aku tetap disini mengenang segala hal yang tidak pasti. Ku tenggak air putih di mejaku. Debu-debu masih menghiasi meja kotak yang ada di ruang tengah. Tak ada niatan akan aku bersihkan, sebab beberapa menit lagi mungkin debu itu akan kembali lagi. Aku keluar rumah, membuka pintu, dan pemandangan yang ada di depan mataku benar-benar sangat indah; aurora hijau mengelilingi langit, bintang-gemintang masih bertebaran dengan cahayanya, sedang matahari belum menampakkan diri. Aku usap dahiku sejenak menghirup udara yang kotor, dan memejamkan mata. Barangkali itu caraku untuk menikmati hidup saat ini.
0 Comments