Bukan, aku tidak ingin menceritakan travelling pada kali ini, melainkan cerita perjalanan rasa sepanjang tahun 2020.
Sendu, semu, penuh lika-liku
Hamparan samudera begitu luas bersama debur ombak yang kian menenggelamkan impian.
Tak kutemukan sedikit pun harapan, melainkan hanya tatapan kosong yang tiada artinya.
Tiba-tiba saja, mata ini tiada melihat apa-apa di depan sana.
Gelap, pekat, kelam.
Tak ada yang bisa menyelamatkanku hari ini, esok atau lusa.
Januari: Sirnanya Harapan dan Impian
Gambar hanya pemanis |
Januari 2020, awal tahun yang menjanjikan, harapan membentang seluas lautan. Dengan mata berbinar-binar, aku siap untuk menjemput mimpi, entah itu menggunakan perahu getek, sepeda, atau bahkan jet pribadi sekaligus.
Masih ingat dalam pikiranku, waktu itu aku sedang berjuang untuk menjalani interview di Jakarta, tepatnya di perusahaan media, Kompas, yang terletak di Palmerah. Bermodalkan tekad yang kuat serta kepercayaan diri yang bulat, aku langkahkan kakiku menuju stasiun Tawang untuk kemudian naik kereta menuju ke Pasar Senen. Kala itu, biaya yang aku pegang sangat pas-pasan. Meski begitu, aku tidak pernah menyerah untuk mengejar impian.
"Ayo, kamu bisa. Sebentar lagi kamu akan mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama" Ujarku kala itu dengan semangat api yang membara-bara.
Singkat cerita, diriku sudah sampai di Pasar Senen, Jakarta. Tampaknya, Ibu kota sedang tidak baik-baik saja kala aku menjenguknya. Genangan air menemani langkah kakiku menuju halte trans Jakarta Pasar Senen. Sesampainya di halte, petugas menginformasikan bahwa ada beberapa jalur yang tidak akan dilalui oleh trans Jakarta dikarenakan adanya banjir. Huhh, aku hanya bisa menghela napas pada waktu itu. Tujuanku setelah ini adalah menuju kediaman temanku, tepatnya di sekitaran Gatot Subroto.
Benar saja, genangan air telah menggerus jalanan Jakarta, utamanya di halte Semanggi.
Ibu kota tak pernah baik-baik saja
Ibu kota tak pernah baik-baik saja
Kian hari kian merenung, entah apa yang direnungkan
Manusia-manusia di dalamnya tak pernah lelah untuk menemaninya
Langit bersedih, Jakarta ikut merasakan pedih
Hari itu tiba juga. Jantung berdetak tak karuan saat langkah kaki menuju ruang wawancara. Bagaimana tidak, sebelumnya aku pernah menjalani wawancara di tempat ini pada bulan Desember lalu, di gedung Kompas. Kali ini, aku lagi-lagi akan interview, tetapi dengan posisi yang berbeda, yaitu Copywriter.
Jarum jam melaju dari angka 1 kembali ke angka 1. Pertanyaan demi pertanyaan telah aku lewati. Di penghujung interview, senyum bibir sang recruiter terlihat merekah sembari mengucapkan kata-kata pamungkasnya.
"Ya, nanti tunggu kabar selanjutnya, ya. Kamu akan dikasih tes untuk tahap berikutnya. Tesnya akan dikirimkan melalui email" Ujarnya
Aku antusias menyambutnya. Namun, pada akhirnya rezekiku bukan di sini. Setelah tes, tak ada kabar baik yang menerpaku.
"Ah, coba lagi, jangan menyerah" Ucapku sambil menguatkan hati.
Februari: Terbitnya Sang Fajar
Sumber: Kompasiana.com |
Tanpa disangka, di bulan ini aku mendapatkan panggilan interview dari Glints.
"Akhirnya, harapan itu muncul lagi" Pungkasku dengan penuh percaya diri.
Interview demi interview aku jalani dengan penuh khidmat. Setidaknya ada tiga kali proses interview yang aku jalani, sebelum pada akhirnya resmi mendapatkan offering letter dari recruiter.
Tiada suka yang tidak diiringi duka
Tiada pekat yang tidak didahului oleh sinar matahari yang menyengat
Pada akhirnya, manusia harus terus berusaha
Meski sang badai terus menerpa
Dengan penuh semangat diri, aku memberitahukan kabar baik ini kepada ibuku. Pada momen ini, meski menyampaikan kabar bahagia, tetapi ada kesedihan yang mengalir; aku akan merantau dan meninggalkan rumahku, ibuku, dan keluargaku, untuk sementara waktu.
Maret: Jakarta, antara Cerita dan Derita
Sumber: Thejakartapost.com |
Tepat pada tanggal 2 Maret, aku resmi menjadi seorang karyawan di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Naasnya, di hari pertama kerja badanku sedang sedikit tidak enak. Ditambah, pada saat itu isu wabah virus corona telah tersebar di berbagai belahan dunia.
"Ujian yang cukup berat di hari pertama kerja" Batinku.
Meski begitu, pada akhirnya aku berhasil melewati hari pertama kerja dengan cukup sukses. Seusai jam kerja, aku memesan penyetan yang terletak di depan gang kosku, gg Hj Ayub, Jl. Fatmawati. Setelah itu, aku tak melakukan aktivitas apa-apa, hanya istirahat di kos saja.
Hari kedua, aku mulai mengenal Jakarta dengan perlahan-lahan. Pasalnya, tempat kerjaku harus dipindah ke Pondok Indah Office Tower yang berada di sebelah Pondok Indah Mall atau PIM persis. Dengan begitu, otomatis aku bisa naik ojek online dan melihat-lihat daerah sekitarku.
Megahnya PIM membuatku takjub kala itu. Wajar saja, di Semarang salah satu mall yang paling dibangga-banggakan adalah Paragon. Itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan luasnya PIM yang kalau pertama kali ke sini sudah dipastikan akan nyasar.
Aku pun juga begitu. Mencari kantin karyawan di PIM sama saja mencari jarum dalam tumpukan jerami. Setelah itu, mencari pintu keluarnya juga tak kalah susah dengan mencari kantin.
Meski begitu, lambat laun aku mencoba untuk mengenal Jakarta lebih dalam, tepatnya Jakarta Selatan. Jalanan Hj. Nawi menyambutku di kala pagi, begitu juga MRT yang berlalu lintas di atas jalurnya. Orang-orang saling mengobrol satu sama lain di lobi, lalu menuju lift.
Kurang lebih selama dua minggu aku naik ojek online dan menuju Pondok Indah Office Tower. Dari Pondok Indah Office Tower di lantai 15 aku bisa merasakan kehidupan para karyawan kantor bergedung tinggi. Mungkin, bagi sebagian orang hal ini terlihat sangat gagah dan mewah, tetapi tidak bagiku. Pasalnya, aku terlihat seperti anak kemarin sore yang masih belum bisa membedakan gula pasir dengan susu bubuk.
Jakarta, antara cerita dan derita
Kau begitu manis dikenang, tapi begitu pahit untuk dipinang
Pada akhirnya, pertemuanku dengan Jakarta hanya sebentar saja. Sebab, di akhir bulan Maret kantorku mengharuskan seluruh karyawannya untuk work from home (WFH) karena wabah virus corona semakin merebak. Mau tidak mau, akhirnya aku kembali lagi ke Semarang.
Tidak jadi merantau dan balik lagi ke senyuman ibu.
April-Agustus: Dikekang oleh Makhluk yang Bernama Pekerjaan
Sumber: Freepik.com |
Barangkali siklus manusia tak ada bedanya dari waktu ke waktu. Saat menduduki bangku SMA, inginnya cepat-cepat kuliah. Saat sudah kuliah, inginnya cepat-cepat mendapatkan pekerjaan. Eh, saat sudah mendapatkan pekerjaan, inginnya cepat-cepat nikah. Gak deng, inginnya balik lagi ke masa kuliah.
Ya, bekerja tidak semudah yang aku bayangkan. Bangun pagi tentu menjadi musuh besar yang harus aku lawan di kala bekerja. Terlebih, saat WFH seperti ini. Tak pernah aku bayangkan aku akan menjalani pekerjaanku dari rumah, tanpa adanya kemegahan gedung-gedung tinggi yang menyambutku seperti saat di Pondok Indah Office Tower.
Meskipun sudah sering bekerja dari rumah saat menjadi seorang freelance writer, nyatanya pekerjaan full-time benar-benar sangat berbeda. Delapan jam penuh selama lima hari dari jam 8 sampai jam 5 sore cukup menguras tenaga dan pikiran.
WFH sangat berbeda dengan WFO (work from office). Pekerjaan dan istirahat seakan-akan menjadi satu di dalam satu tempat yang sama; kamar. Di kala malam hari, pikiran masih melayang-layang pada deadline yang belum selesai juga. Suara ketikan laptop masih terngiang-ngiang saat mata hendak memejam. Dan yang paling parah lagi, koneksi internet yang kadang tidak stabil sering kali menghantui saat sedang meeting online. Pada akhirnya, itu akan menghantui diriku karena tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan dalam rapat.
Menyerah, hampir. Keluar dari pekerjaan, sudah masuk di dalam pikiran. Akan tetapi, mengeluh bukanlah jalan yang tepat bagiku untuk menghadapi situasi seperti ini. Setiap kali aku hampir menyerah, pikiranku selalu mengarah ke bulan Januari lalu.
Tumpah darah, peluh keringat, akan jadi sia-sia
Di tengah peperangan yang tak dimenangkan, semua akan terkubur di dalam ingatan
Dahulu berlari, kini terluntang-lantung menghadapi segalanya
Apakah aku lupa kalau sekarang perang masih berlanjut?
Tiada yang mudah menjalani sebuah peperangan, meski itu dilakukan dari rumah. Bahkan, sepanjang tahun 2020 kita menghadapi peperangan virus corona dari rumah. Itu bukanlah hal yang mudah. Melawan kebosanan, jenuh, rasa malas, semua mengeroyok tubuh seorang manusia yang lemah.
Pahitnya, peperangan itu masih terus berlanjut, entah sampai kapan. Memasuki bulan Agustus, tiada kabar baik dari virus corona. Justru, penyebarannya semakin luas di berbagai daerah di Indonesia.
"Aku tidak boleh menyerah dengan keadaan. Hampir 5 bulan aku dikekang oleh pekerjaan dan ia berhasil membuatku kelelahan. Baiklah, mari segera berubah" Ucapku dalam hati.
September-Desember: Awal yang Baru untuk Jiwa yang Lelah
Barangkali aku sedang berada di dalam penjara, tanpa ada gembok yang menempel dan penjaga, melainkan hanya diriku sendiri yang sedang merenung di pojokan, meratapi segala hal yang sudah terjadi beberapa bulan ke belakang. Tak ada yang bisa diselamatkan, tak ada yang bisa disimpan. Hanya sepercik harapan yang terus aku bawa di pundak. Berharap aku dapat melewati tahun ini dengan baik-baik saja; meski raga sudah tercabik-cabik dan penuh luka.
Memasuki bulan ke-sembilan, aku mencoba untuk memperbarui semuanya, mulai dari semangat sampai ruangan kerja saat WFH. Ya, mau bagaimana lagi. Di awal WFH aku benar-benar tidak modal. Hanya beralaskan karpet, lalu kotak sepatu sebagai tatakan laptop. Jika itu dilakukan selama 8 jam dalam satu hari, dipastikan punggung akan terasa pegal. Otomatis, itu akan mengganggu istirahatku pada malam hari.
Akhirnya, aku memutuskan untuk membeli kursi, hiasan tembok, hingga taplak meja. Hal ini aku lakukan agar aku tetap menjaga semangat meskipun WFH. Ya, tetapi kalau masalah bangun pagi aku tetap bangun telat, tepat 15 menit sebelum dimulainya jam kerja hehe.
Nyatanya, perubahan kecil yang aku lakukan ini berhasil membuat jiwaku terlahir baru. Memunculkan percikan api semangat yang lama-lama membara di depan mata. Meski aku belum berdamai dengan WFH, setidaknya aku masih bisa melanjutkan pekerjaan, tanpa ada pikiran untuk berjalan mundur.
Tulisan ini aku ciptakan pada tanggal 30 Desember 2020, tepat dua hari sebelum tahun 2021. Sampai sekarang, masih belum ada kabar baik mengenai virus corona. Bahkan, di akhir tahun kasus positif kian bertambah banyak. Melihat akun twitter @kawalcovid19, pada tanggal 30 Desember 2020 ada penambahan kasus positif sebanyak 8.002.
Sebagai manusia, kita hanya berdoa semoga negeri ini lekas membaik, sehingga kita bisa kembali bersua dan bercerita bagaimana menghadapi hari demi hari di tahun 2020 ini. Inilah ceritaku, jika berkenan kamu juga bisa membuat cerita versi dirimu sendiri.
Salam,
Adibio
2 Comments
Ngeri...
ReplyDeleteCakepp
Delete